SALAH KAPRAH ANTARA ‘AKAL DAN RASIO’

Banyak diantara kita yang merancukan antara ‘akal’ dengan ‘rasio’. Antara ’akal’ dengan ’logika’. Sehingga, banyak pertanyaan yang dilontarkan untuk meng-counter ’bahwa beragama harus menggunakan akal’ menjadi salah kaprah. Yakni yang bernada begini: Apakah agama itu selalu bisa dirasionalkan? Apakah agama itu selalu bisa dilogikakan?

Yang begini ini karena kita telanjur salah kaprah memahami makna ’akal’ yang dimaksudkan oleh al Qur’an. Kalau kita cermat dan open-minded dalam memahami al Qur’an, maka kita akan tahu bahwa:

1. Tidak ada satu ayat pun yang melarang seorang muslim untuk memahami al Qur’an dengan menggunakan akal. Yang ada justru sebaliknya, al Qur’an memerintahkan agar kita menggunakan akal. Bahkan dengan kalimat yang sangat tegas dan ’mengunci’, bahwa siapa saja yang tidak menggunakan akal tidak akan bisa mempelajari al Qur’an.

QS. Ali Imran (3): 7

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu … Dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).

Karena itu, hadits yang berbunyi: ’’barangsiapa memahami al Qur’an dengan akalnya (ra’yi – pendapat) maka tempatnya adalah di neraka’’ menjadi tidak relevan, karena bertabrakan langsung dengan al Qur’an sebagai sumber utama. Sehingga hadits itulah yang harus dikritisi, bukan al Qur’annya. Karena, yang dimaksudkan dengan ra’yi disitu bukanlah ‘menggunakan akal’ melainkan justru ‘tidak menggunakan akal’, alias orang yang beragama dengan cara ‘taklid buta’ kepada sebuah pendapat. Itulah yang diancam neraka, dan murka Allah.

2. Orang yang berakal dalam istilah al Qur’an disebut sebagai ulul albab, yaitu orang yang menggunakan hati dan pikiran sekaligus, secara simultan.

QS. Ali Imran (3): 190-191

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka berpikir (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Dalam berbagai ayat Allah, istilah dzikrullah ~ interaksi dengan mengingat Allah ~ selalu menggunakan hati (qalb), QS. 8: 2, QS. 13: 28, dlsb. Sedangkan tafakur adalah interaksi dengan ciptaan Allah dengan menggunakan pikiran yang berbasis pada mekanisme kerja otak secara ilmiah. Jadi, berakal tidak sama persis dengan berpikir. Karena berpikir adalah sebagian saja dari mekanisme berakal.

3. Beragama bukan hanya menggunakan hati saja, karena hati bisa berpenyakit, mengeras, membatu, dan tertutup alias dikunci mati oleh Allah. Demikian pula, beragama bukan hanya menggunakan pikiran saja, karena pikiran bisa salah dalam menyimpulkan meskipun sudah menggunakan metode secanggih apa pun. Beragama harus menggunakan hati dan pikiran sekaligus. Itulah yang disebut sebagai ulul albab. … Wama yadzdzakkaru illa ulil albab. ~ dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya (hati & pikiran), QS.3:7.

4. Nah, berpikir itulah yang seringkali disalahkaprahkan dengan berakal. Berpikir adalah mekanisme ilmiah yang melibatkan logika, rasionalitas, memori dan analisa. Sedangkan hati tidak perlu logika, rasio, analisa, dan memori. Karena hati bekerja berdasar kepekaan indera keenam yang sering disebut dengan intuisi, ilham dan wahyu, sesuai dengan tingkat kualitasnya.

Logika : pengambilan kesimpulan dengan menggunakan runtut berpikir tertentu sesuai bidangnya. Logika matematika bisa berbeda dengan logika biologi, bisa berbeda dengan logika politik, bisa berbeda dengan logika bisnis, dlsb

Rasio : pengambilan kesimpulan dengan menggunakan perbandingan, terhadap sesuatu yang telah diketahui. Mis: sesuatu dikatakan panjang jika ada pembandingnya yang lebih pendek. Sesuatu dikatakan salah jika ada pembandingnya yang dianggap benar, dlsb.

Memori : data alias ingatan, atau rekaman kejadian yang sudah lampau yang membantu proses munculnya kesimpulan.

Analisa : metode yang digunakan untuk mengambil kesimpulan.

Jadi, adalah salah kaprah kalau ada yang menyamakan akal = logika atau rasio.

Dan lantas bertanya: apakah agama harus selalu rasional? Atau, apakah beragama harus selalu logis?

Tentu saja jawabnya adalah: tidak selalu. Karena, kadang kita harus beragama dengan menggunakan intuisi, ilham atau wahyu, yang tidak selalu logis atau rasional.

Tapi jika Anda bertanya: apakah beragama harus masuk akal?

Maka jawabnya pasti: masuk akal. Karena itulah yang diperintahkan Allah, yakni dengan mengombinasikan antara hati dan pikiran dalam ‘satu tarikan nafas’.

Karena jika tidak, Allah akan marah besar kepada Anda..!

QS. Yunus (10): 100

Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Wallahu ’alam bishshawab

~ salam ~




Sumber 

Blogger news

Blogroll

About