Salah satu akhlak tertinggi di dalam agama islam adalah ikhlas.
Lawannya pamrih. Kenapa islam mengajarkan keikhlasan?
Karena, Allah menghendaki umat islam menjalani agamanya “tanpa pamrih”.
Semua aktivitas hidupnya dilakukan berdasarkan lillahi ta’ala – ‘karena Allah semata’
Bershahadatnya, karena Allah.
Sholatnya , karena Allah.
Puasanya karena Allah.
Dan hajinyapun karena Allah.
Demikian pula ketika menolong orang. Menuntut ilmu, bekerja, menjadi pejabat, menjadi ustadz dan utadzah, menjadi hakim , jaksa, polisi, professional dan apapun aktivitasnya, semua dijadikan sebagai proses belajar IKHLAS dalam mengagungkan Allah semata.
Lantas bagaimanakah membedakan ibadah yang ikhlas dan ibadah yang penuh pamrih?
Pada dasarnya : orang yang ikhlas, menjalankan agama karena Allah semata.
Sedangkan orang yang pamrih, melakukan ibadah karena ingin memperoleh sesuatu untuk keuntungan dirinya.
Beberapa ini adalah beberapa diantaranya :
1. Orang ikhlas meniatkan sholatnya karena Allah semata, persis seperti do’a iftitah yang dibacanya : “inna shalati wanusuki wamahyaya wamawati lillahi robbil alamin ~sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata. sedangkan orang yang pamrih, meniatkan sholatnya untuk mengejar pahala 1x, 27x, 1000x dan 100.000x. Ada juga yang melakukan sholat Dhuha karena ingin memperbanyak rezeki atau shalat tahajud agar punya karomah dan lain sebagainya.
2. Orang ikhlas, menjalankan puasanya karena taat kepada Allah semata.
Karena dengan puasa itu ia akan menjadi jiwa yang lebih suci, sehingga lebih mudah mendekatkan diri kepadaNya.
Sedangkan yang pamrih, melakukan puasa karena tujuan-tujuan yang selain mendekatkan diri kepada Allah.
Misalnya, ada orang berpuasa agar lulus ujian, agar mendapat jodoh, agar langsing, agar sehat, agar sakti dsb.
Padahal, semua itu hanya dampak ‘dampak’ saja dari ibadah puasa.
Tidak usah dipikirkan dan apalagi dijadikan tujuan.
Kalau puasanya ‘karena Allah’ semata, pasti semua dampak positif itu akan datang dengan sendirinya.
3. Orang ikhlas menunaikan zakat dan shodaqoh-nya karena ingin menolong orang lain, meniru sifat Allah yang Maha Pemurah.
Tetapi, orang yang pamrih mengeluarkan zakat dan sedekah karena ingin dipuji orang, untuk memunculkan rasa bangga di dalam hatinya karena bias menolong orang, atau yang lebih parah lagi adalah berharap balasan pahala sampai 700x dari nominal yang dikeluarkannya.
Jadi, ketika dia mengeluarkan uang Rp. 1 juta, yang ada dibenaknya adalah berharap mendapat balasan Rp. 700 juta. Berdagang dengan Allah….!
4. Orang ikhlas menunaikan Haji dan umrohnya, karena ingin memperoleh pelajaran berkorban, bersabar, keikhlasan dan ketaatan dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Sedangkan yang pamrih, ingin sekedar ‘berdarmawisata’, meskipun diembel-embeli dengan kata ‘ruhani’.
Bahkan saat haji banyak orang yang meniatkan hajinya sekedar pada title ‘Haji’.
Atau penampilan berkopyah haji, panggilan ‘wak haji’ dan kemudian membeli sertifikat haji dengan mengubah namanya.
Dia berhaji bukan karena Allah, tetapi karena segala macam tujuan selain Allah.
5. Orang ikhlas mengorientasikan seluruh ibadahnya untuk mencintai Allah dan merendahkan ego serendah-rendahnya sebagai manifestasi syahadatnya : laa ilaaha illallah ~ tiada Tuhan selain Allah.
Tetapi orang-orang pamrih mengorientasikan ibadahnya untuk mengejar surga, sehingga tanpa terasa ia meninggikan egonya, dan mengesampingkan Allah sebagai focus ibadahnya.
Allah bukan tujuan hidupnya. Tuhan sebenarnya bukanlah Allah, melainkan Surga.
Karena, ternyata imajinasi kebahagiaannya bukan saat dekat dengan Allah, melainkan berada di dalam surga.
Yang demikian ini, justru tidak akan mengantarkannya ke surga.
Karena surga itu hanya disediakan bagi orang-orang yang mengarahkan seluruh kecintaannya hanya kepada Allah semata.
Dan itu tercermin dalam do’anya :
Allahumma antasalam, waminka salam…~ Ya Allah, Engkaulah Kebahagiaan dan Kedamaian sejati, dan dari-Mu lah bersumber segala kebahagiaan…
Marilah kita belajar menjalani seluruh aktivitas kehidupan kita ini dengan ikhlas.
Bukan ikhlas yang diikhlaskan atau terpaksa ikhlas, melainkan ikhlas yang dilambari oleh kepahaman tentang substansi apa yang akan kita lakukan.
Semakin paham Anda terhadap apa yang akan Anda lakukan, semakin ikhlas pula Anda menjalaninya.
Sebaliknya, semakin tidak paham, maka semakin tidak ikhlas pula hati Anda dalam menjalaninya. Terpaksa ikhlas, karena takut masuk neraka dan tidak memperoleh surga……
Betapa sayangnya, di dunia merasa tersiksa karena terpaksa mengikhlaskan ibadahnya, sedangkan di akhirat juga tidak memperoleh buah perbuatannya.
Karena ia tidak mendasarkan ibadahnya lillahi ta’ala.
Surga yang digambarkan sebagai taman-taman yang indah dengan mata air-mata air itu tidak memberikan dampak kenikmatan baginya, karena sesungguhnya keindahan itu dikarenakan kecintaan kepda Sang Maha Indah.
Mirip dengan orang yang menginap di hotel bintang lima, tetapi tidak bias menikmati dikarenakan ia datang kesana dengan terpaksa….
QS. Yunus (10) : 105
Dan (aku telah diperintahkan), hadapkanlah wajahmu (orientasi hidupmu) kepada agama dengan tulus dan ihklas dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (menduakan Allah sebagai tujuan hidup)
QS. Al A’raaf (7) : 29
Katakanlah : “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah) : “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya)”.
QS. An Nisaa’ (4) : 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim (dan orang-orang yang mengikuti ajarannya) menjadi kesayangan Allah.
Wallahu ’alam bishshawab
~ salam ~